Sejarah
dasar tanaman obat bermula dari zaman purba, dimana manusia mencari obat-obatan
dari alam yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Hal tersebut terjadi secara
naluriah oleh manusia, walaupun informasi mengenai tanaman yang dimanfaatkan
belum sepenuhnya terbuktikan dapat menyembuhkan penyakitnya, tetapi seiring
penggunaan tanaman-tanaman tertentu untuk mengobati penyakitnya sehingga
memberikan pengalaman bagi manusia. Tanaman obat mulai digunakan secara
spesifik untuk menangani penyakit tertentu berdasarkan pengalaman manusia. Pada
abad ke-16 dikenalkan iatrokimia, yang menjadikan tanaman sebagai sumber
pengobatan dan pencegahan penyakit, beberapa diantaranya sudah terdapat
obat-obatan sintetik. Oleh karena adanya penurunan efektivitas pengobatan
sintetik dan memberikan efek samping kepada penggunanya maka masyarakat mulai
beralih menggunakan obat-obatan alami kembali.
Namun, penggunaan tanaman obat untuk
pengobatan tercatat dalam sejarah tertua di tanah Sumeria dari Nagpur, India
pada 5000 tahun yang lalu. Pada saat itu, sudah terdapat 12 resep untuk
pengobatan menggunakan 250 variasi tanaman, diantaranya adalah alkaloid seperti
poppy, mandrake, menbane dan lain-lain. Selain itu, tanaman obat tercatat pada
buku-buku Cina, yaitu penggunaan akar dan rumput-rumputan sebagai tanaman obat
pada 2500 SM, sekitar 365 obat. Obat-obatan tersebut digunakan hingga sekarang,
sebagai pengobatan tradisional seperti ginseng. Penemuan-penemuan tanaman obat
dan cara penggunaanya terus-menerus berkembang di masing-masing daerah. Hampir
di setiap daerah memiliki tanaman obat yang berbeda-beda. Hal tersebut tercatat
pada buku-buku mengenai tanaman obat pada tiap daerah.
Pada abad pertengahan, kemampuan
penyembuhan, budi daya tanaman obat, dan pengobatan dipraktekkan di biara.
Terapi yang digunakan berdasarkan 16 jenis tanaman obat. Tanaman obat yang
kembangkan antara lain, sage, anise, mint, biji greek, savory, tansy dan
lain-lain. Pada tahun 742-814 M, Charles the Great yaitu sang pendiri sekolah
medis di Salerno, menumbuhkan sekitar 100 jenis tanaman yang berbeda di
lahannya. Tanaman tersebut digunakan hingga sekarang, yaitu sage, sea onion, iris, mint, centaury, poppy,
marsh mallow, dan lainnya. Salah satu tanaman yang digemari adalah sage (Salvia officinalis L.). Hingga sekarang,
tanaman sage dijadikan tanaman wajib disemua biara Katolik.
Kemudian, peradaban Arab
memperkenalkan beberapa tanaman baru dalam farmakoterapi, kebanyakan dari India
dijadikan sebagai negara untuk hubungan perdagangan dengan beberapa tanaman
yang bernilai sebagai obat. Peradaban Arab menggunakan aloe, deadly nighshade, henbane, kopi, jahe,
strychnos, saffron, curcuma, lada, cinnamon, rheum, senna, dan lainnya.
Beberapa obat-obatan dengan indikasi kuat digantikan dengan obat-obatan dengan
indikasi ringan. Adanya pengenalan tanaman obat baru oleh peradaban Arab,
sehingga adanya kerja sama dokter-dokter Eropa dalam berkonsultasi dengan
masyarakat Arab. Hasilnya, 1000 tanaman obat telah diidentifikasi.
Perjalanan Marco Polo pada tahun
1254-1324 di daerah tropis Asia, Cina, dan Persia, serta penemuan Amerika
(1492), dan perjalanan Vasco De Gama ke India pada tahun 1498, membuahkan hasil
berupa penemuan tanaman obat dan dibawa ke Eropa. Hal tersebut mendorong dibuatnya
kebun botani di seluruh penjuru Eropa dan mencoba untuk membudi daya tanaman
obat secara domestik. Semenjak penemuan benua Amerika, bidang medis terus
berkembang dengan ditemukannya tanaan obat dengan jumlah besar, diantaranya Cinchona, Ipecacuanha, Cacao, Ratanhia, Lobelia, Jalapa, Podophylum, Senega, Vanilla, Mate, tembakau, lada merah, dan lainnya.
Pada tahun 1493-1541, Paracelsus
merupakan salah satu pendukung kimia pada pengobatan menggunakan tanaman mentah
dan mineral. Beliau percaya bahwa Tuhan mendesain suatu tanda pada bentuk rupa
suatu penyembuh, yang mengindikasikan aplikasinya pada penyakit tertentu.
Misalnya, haselwort mengingatkan pada hati, sehingga haselwort dapat
menyembuhkan penyakit hati. Di sisi lain, orang tua menggunakan tanaman obat
dengan metode sederhana, yaitu infusi, merebus, dan merendam. Pada abad ke-16
dan 18, senyawa obat-obatan ditingkatkan, yaitu dengan mencampurkan antara
hewan dan tanaman. Apabila obat yang dihasilkan berasal dari beberapa tanaman
obat, hewan langka dan mineral maka nilai yang dihasilan sangat tinggi dan
dijual secara mahal.
Pada awal abad ke-19 merupakan titik
puncak ilmu pengetahuan dan penggunaan tanaman obat. Hal tersebut dikarenakan
adanya penemuan, bukti dan isolasi alkaloid dari poppy, akar ipeka, strychnos, kina,
delima dan tanaman lain, kemudian dilanjutkan dengan isolasi glikosida,
ditandai dengan mulainya farmasi ilmiah. Adanya peningkatan metode kimia maka
beberapa subtansi aktif pada tanaman obat ditemukan, antara lain tanin,
saponosida, minyal eter, vitamin, hormon, dan lainnya.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20, beberapa tanaman obat dieleminasi dari terapi pengobatan karena memiliki
banyak kekurangan dan tindakan destruktif enzim, yang menyebabkan perubahan
mendasar selama proses pengeringan tanaman obat. Tindakan penyembuhan
tergantung pada cara pengeringan. Pada abad ke-19 ini, terapi, alkaloid dan
glikosida yang diisolasi dalam bentuk murni semakin menggantikan obat-obatan
yang telah diisolasi. Pada abad ke-20, metode stabilisasi untuk tanaman obat yang
segar diusulkan sehingga banyak usaha yang diinvestasikan pada masalah pabrik
dan budi daya tanaman obat.
Adanya studi kimia, fisiologis, dan
klinis beberapa tanaman obat yang dihilangkan, kembali digunakan oleh farmasi,
diantaranya adalah Aconitum, Punica franatum, Hyosciamus, Stramonium, Secale cornutum, Filix mas, Opium, Styrax, Colchicum, Ricinus, dan
lainnya. Sekarang, tanaman obat dibagi menjadi dua, tradisional dan modern.
Penelitian mengenai aplikasi tanaman obat terus dikembangkan. Banyak tanaman
obat yang digunakan untuk pengobatan sendiri atau melalui rekomendasi dokter atau
apoteker. Umumnya, tanaman obat dikombinasikan dengan obat sintetik.
0 Comments